Tales of The Abis (Chapter 2)

on Minggu, 14 Desember 2008

Shela terbangun dari pingsannya. Gaun permaisurinya basah kuyup dan kotor. Tubuhnya masih terasa sakit, terdampar di pinggir sungai. Dengan sekuat tenaga dia mengusahakan dirinya untuk duduk. Nafasnya ngos-ngosan.

“Neng, sedang apa di sini? Kelihatannya Neng abis terbawa arus sungai ya?” sebuah suara muncul dari belakang. Shela menoleh dengan kaget. Seorang pria tua dengan pakaian khas bangsa petani melambai bersahabat kepadanya. Handuk yang tebal dan empuk tergenggam di tangannya. “Nih, bersihin dulu diri Neng. Ntar bisa kena flu lho. Dan UPT jauh dari sini.” Kata si petani tua seraya menyerahkan handuk di tangannya.

“Makasih, Mas.” Kata Shela. Dia meraih handuknya dan mengeringkan tubuhnya yang basah kuyup.

“Kalo Neng ada kesempatan, datang aja ke gubuk saya sekitar empat puluh meter dari sini. Istri Mas punya pakaian ganti buat Neng.” Ujar si petani tua seraya meninggalkan Shela menuju ke dalam hutan.

“Gubuk Mas ke arah mana dari sini?”

“Utara.”

Shela merasa bersyukur dia masih terdampar di tempat yang benar. Kalau terdampar di tepi sungai yang sepi dan banyak perompaknya ntah bagaimana nasibnya kelak.

Shela memeras otak. Bagaimana caranya biar bisa keluar dengan selamat dari hutan ini. Dia masih ingat saat harus melompat dari jendela istananya demi menghindari kejaran Romeo. Tujuannya sekarang adalah mencari seorang ksatria yang mampu mengalahkan si Romeo dan membawa kedamaian di tanah Jatinangor ini.

Saat Shela masih bingung hendak kemana, terbersit dalam ingatannya. Kata petani tua tadi sekitar empat puluh meter dari sini ke arah utara ada gubuk tempat dia dan istrinya tinggal. Dan dia juga butuh pakaian dan makanan. Tanpa berpikir panjang Shela langsung berjalan dengan agak terhuyung-huyung menuju ke arah utara. Rambut panjangnya yang serak-serak karena tenggelam diikatkan sekenanya, toh sekarang dia sedang berada di luar istana.

Sesampainya di gubuk yang dimaksudkan petani tua tadi, Shela mematung. Betapa reyot dan buruknya gubuk itu. Lebih mirip kandang ternak ketimbang tempat tinggal manusia. Namun pikiran itu dikesampingkan. Ada yang lebih penting sekarang.

Shela mendekati gubuk yang terbuat dari bambu dan sebesar kamar kosan itu. Tok, tok, tok... dia mengetuk pintu.

Langsung dari dalam gubuk seorang wanita tua muncul menyapanya.

“Aduh, Neng ayu... Ada apa ya?” tanya si wanita tua itu.

“Maaf, Mbak, saya Shela dari kerajaan Jatinangor. Saya baru saja terseret arus dan tidak tahu sedang berada di mana sekarang. Bisakah saya menginap di sini? Berhubung sebentar lagi malam tiba...”

Si wanita tua terdiam sejenak menatap Shela. Tatapannya meneliti bercampur kaget. Namun sebentar kemudian, “Oh, tentu saja tuan putri. Silahkan masuk.”

Shela masuk ke dalam gubuk reyot itu. Betapa kagetnya dia melihat di dalam situ hanya ada tangga yang menuju ke dalam tanah.

“Ayu masuk.” Wanita tua itu mempersilahkan. Shela pun menuruni tangga itu dan memasuki tempat yang sangat terang benderang. Dimana-mana perabotan serba canggih. Di ujung ruangan berdinding bata bercat putih terdapat meja antik dengan mesin pembuat kopi di atasnya. Di ujung yang lain sebuh komputer mini hidup dan menampilkan suatu diagram yang aneh. Shela terpana melihat semua itu. Belum pernah dia melihat tempat secanggih ini dimana pun, bahkan di istananya sendiri.

“Maaf Mbak, anda siapa?” tanya Shela penuh selidik kepada wanita tua itu.

Wanita tua itu sedang memasukkan pasword dan pengindera mata di sebelah pintu yang akhirnya terbuka itu. Dengan langkah layaknya istri petani tua dia melangkah masuk dan mempersilahkan masuk sebelum menjawab pertanyaan tadi.

“Nama saya Michelle, saya istri dari petani tua yang sedang berkebun di luar sana. Silahkan kopinya, Tuan Putri. Hangatkan dirimu.” Michelle menyerahkan secangkir kopi ABC Mocca kepada Shela. Shela pun duduk dan meminumnya sebelum melontarkan pertanyaan selanjutnya.

“Darimana anda berasal? Tidak ada tempat secanggih ini di sudut kerajaan saya.”

“Nah... itulah kesalahan kerajaan Neng. Kami dulunya adalah seorang ilmuwan yang meneliti tentang hukum fisika, kimia, matematika, teknik-teknik, dan geologi. Tapi raja Neng tidak menghargai kami. Kami dituduh sebagai pengkhianat agama karena telah mengungkap tabir tuhan.”

“Iya gitu?”

“Ya...” Michelle meneguk kopinya. “Kita kan orang Islam, sudah sewajarnya kalau kita mempelajari ayat-ayat Allah bukan?”

Shela mengangguk pelan, sementara Michelle berjalan santai ke arah mesin berbentuk tabung transparan dengan cahaya memendar dari bawahnya.

“Sebentar lagi Arie balik.” Kata Michelle dengan nada pelan sambil menatap mesin itu. Lebih kepada dirinya daripada ke Shela.

Shela terkejut. “Arie? Anak Mbak?”

“Bukan, dia adalah bos kami. Bos pemberontakan kami. Sebentar lagi dia pulang. Katanya dia sedang memancing di danau dekat kerajaan kalian.”

Beberapa saat kemudian mesin itu mengeluarkan cahaya di tengahnya dengan sengatan-sengatan listrik menebar kemana-mana. Makin lama makin terang. Shela berusaha menutup matanya dengan tangannya dari silaunya cahaya tersebut. Michelle tidak bereaksi apa-apa. Seolah itu adalah yang biasa baginya.

“Assalamualaikum...” kata pria muda nan tampan dan berpakaian necis agak basah dari dalam mesin tadi. Shela melongo keheranan.

“Syukurlah anda sudah pulang Tuan Muda. Ada seorang permaisuri yang kesasar di hutan tadi.” Kata Michelle sambil menunjuk Shela dengan sopan.

Arie tersenyum. “Michelle, bawa dia ke bilik kosong dan berikan sebagian pakaianmu yang masih bersih. Aku sibuk sekarang. Mau mandi. Tadi abis terjun ke danau.” Katanya sambil ambil lalu masuk ke pintu berwarna oren.

“Shela...” panggil Michelle. Mengagetkan Shela yang masih ternganga.

“Oh, ya?”

“Ikuti saya. Saya akan mengantar Neng ke bilik baru Neng.” Jelas Michelle sambil membuka pintu yang berseberangan dengan pintu Arie masuk tadi dan melangkah masuk. Shela mengikuti dengan terburu-buru.

“Tunggu!” teriak Shela.

“Ada apa, Neng?” Michelle menunggu dengan perhatian.

“Tadi adalah bos anda?” Shela bertanya tidak percaya.

“Ya benar. Meskipun penampilannya dan wajahnya tidak proporsional, tapi itulah jati dirinya. Dan dia bangga dengan itu.” Kata Michelle tegas.

“Maaf aku gak bermaksud merendahkan bos anda, kok.”

“Maaf kan saya juga, Neng. Saya juga tidak bermaksud emosi seperti itu.” Michelle langsung melanjutkan langkahnya menelusuri lorong tanpa menunggu tanggapan dari Shela.

Shela kembali mengikuti. Perasaannya jadi kurang enak sekarang.

0 komentar: